Waktu adalah sebuah tema yang penuh misteri...dalam buku Thomas Harris, Hannibal, Dr. Lecter memiliki satu permasalahan yang tidak terpecahkan dalam dirinya, dan itu adalah keinginannya untuk mendapatkan sebuah pengetahuan untuk dapat memutar kembali waktu dan menemukan adiknya, Mischa, yang mati karena kanibalisme sekelompok Nazi, hidup kembali di hadapannya. Pada akhirnya, walaupun dengan ending yang aneh, akhirnya Dr. Lecter mengisi kekosongan itu dengan sosok Starling. Starling, wanita pendekar FBI itu pun akhirnya –dengan anehnya- memilih untuk meneruskan hidupnya bersama Dr. Lecter, dan meninggalkan masa lalu penuh ketakutannya akiba kematian ayahnya bertahun-tahun lalu. Alan Lightman menggambarkan pikiran-pikiran Einsten dalam bukunya yang indah, Mimpi-Mimpi Einstein. Tentang bagaimana dunia kalau ia terdiri dari kehidupan di mana tidak ada keberakhiran waktu, sehingga manusia pun terbagi menjadi ke dua kubu, mereka yang memilih untuk menikmati dengan sebanyak mungkin waktu yang ada, atau kubu satunya, yang memilih untuk mengisi waktu sebaik-baiknya dengan bekerja dan belajar, meraih gelar sebanyak-banyaknya. Karena mereka memiliki waktu selamanya untuk melakukannya. Pun dengan kegetiran dari kekekalan itu...
Waktu juga yang terus berjalan mengajak kita meninggalkan banyak tempat dan waktu yang paling kita senangi dalam kehidupan. Entah itu ketika tengah berada di tengah keluarga, mengobrol atau bercanda dengan sahabat-sahabat kita, meluangkan waktu sejenak untuk memikirkan sebuah cita-cita yang tengah kita rintis, atau bahkan sekedar mengisi waktu dengan membaca komik, meminum segelas minuman hangat favorit, dengan semangkuk mi rebus hangat yang siap disantap. Dan kenikmatan masa-masa itu terletak di masa depan, ketika kita membuka kembali lembaran ingatan, mengenangnya, dan merasakan kebahagiaan yang pernah kita rasakan ketika berada di posisi ‘itu’. Ada kehangatan yang mengalir deras ketika merasakan momen itu. Seandainya ada satu alat yang akhirnya bisa mampu manusia temukan, yang mampu merekam kenangan indah yang pernah kita miliki...alangkah menyenangkannya... dan semuanya akan tetap indah, selama kita tidak terbuai selamanya di dalamnya...
Kenangan pahit pun berdekatan artinya. Saya masih bisa merasakan pedihnya ketika satu kali memutuskan untuk beranjak pergi dari seseorang yang saya sayangi sebanyak ia menyayangi saya juga. Saya masih ingat pedihnya ketika seorang sahabat saya memutuskan pergi dari sekolah saya di SMU karena penyakitnya. Kesakitan yang lebih dalam lagi menusuk saya ketika sadar bahwa saya telah menyakiti perasaan ibu saya. Semuanya sanggup membuat saya menangis, lalu tersenyum lagi karena segala sesuatunya telah menjadi lebih baik ketika sidikit demi sedikit diatasi. Dan tentu saja, sanggup merasakan emosinya... dalam buku Selasa Bersama Morrie, profesor tua itu mengatakan di akhir – akhir masa kehidupannya, bahwa kita menjadi manusia ketika sanggup merasakan baik rasa senang maupun kepedihan. Saya pernah berusaha lari dari sebuah sakit hati dan ‘menipu’ perasaan dengan terus meyakinkan diri saya kalau saya ‘tidak apa-apa’. Tapi semakin hari saya malah merasa ada sesuatu yang salah, lalu akhirnya...saya menangis...dan perasaan yang menjanggal itu lepas...saya tentu saja merasa sedih, tapi ada sisi lain diri saya merasa lega, dan memilih sebuah langkah yang jauh lebih baik.
Dan waktu membuat kita belajar, membangunkan diri dari kepura-puraan akan kenyataan, dan membuat kita menjadi seseorang yang lebih baik, ataupun sebaliknya. Naik dan turun...terus menerus...dan misterinya tidak pernah benar-benar selesai...
Tuesday, February 01, 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
to dear ulfa,
banyak hal yang mirip saya yah!
Salam kenal, saya yoshie sebenarnya saya pengen menulis komentar yang panjang tapi karena waktunya di warnet mepet jadi ga bisa. Tapi saya seneng baca tulisannya, cuma kenapa ga lebih dalam karena poinnya udah dapat bagus banget.
yoshie
nira_dee@yahoo.com
Post a Comment