Tuesday, March 15, 2005

Keikhlasan itu...

Keikhlasan itu, bagi saya adalah mengerjakan apa pun (asal sesuai ketentuan) dengan tidak mengharapkan balasan apa-apa dari 'manusia', dan berlepas hanya kepada sang Rabb belaka. Bagi saya, manusia yang bisa seperti itu, adalah manusia dengan produktifitas tinggi yang mengerjakan segala kebaikan bukan karena iming-iming dari orang lain, tapi murni untuk mencari 'tanda setuju' dan 'bahagia' dari Tuhan.
memang bagi saya keimanan itu penting, karena dari poin itulah manusia akhirnya bisa menentukan, untuk apa dia hidup, untuk siapa segala usaha ditujukan, dan makna keberadaan kita di dunia. karena itu, keimanan selalu berasa manis, walau terkadang, butuh perjuangan untuk terus mempercayai...
seorang 'kakak' favorit saya pernah beberapa kali bermasalah di hatinya, karena merasa apa yang dia perbuat tidak dihargai oleh institusi dimana ia berdedikasi. dan setelah saya 'ingatkan' tentang tujuannya berbuat, akhirnya banyak hal yang dilakukan dengan lebih baik dan mengharap ridhoNya belaka.
Keikhlasan tidak diungkap oleh kata-kata, tetapi merupakan rahasia terdalam seorang hamba dan Tuhannya yang sedang menanamkan rasa cinta untuk bisa beradu kasih denganNya...berharap bahwa 'wajah'Nya yang dapat dinikmati ketika ajal tiba dan nyawa ini sampai di sisinya...

Saturday, February 26, 2005

Just Happy

Mau bilang apa lagi kalo lagi ketimpa rezeki?? Simpel sih kejadiannya, but God is so kind!!
Thank You! Thank You!
I can't express truly here...tapi setidaknya yang baru gw alami benar-benar nyata, dan bukan sesuatu yang tersimpan di dalam bayangan doang...benar-benar nyata!!!
I'm just HAPPY!!! :)

Ego dan Tak Bijaknya Seseorang

Saya tidak tahu harus berkata apa lagi. Kadang, bisa ada seseorang yang disindir seperti apapun tapi gak juga sadar kalau dirinyalah yang harusnya mengintrospeksi diri. Dan gw sejujurnya capek ngadepin orang ini. Masa’ gw harus kayak hewan liar yang mencak-mencak ke nih orang untuk nyadar? Kemaren gw udah marah di ubun-ubun cuma ditahan sama yang lain. (oh...darah batakku bergetar!!) dan herannya, ketika percakapan usai, seolah-lah dialah yang paling benar, head of state, the owner of the right! God! Apa karena egonya yang besar, semua hal tertutupi dan cuma dialah sumber kebijaksanaan terbaik dianggapnya? Gw emang orang yang biasa-biasa banget. Tapi gw bisa ngeliat orang macam apa yang sebetulnya berbuat sesuatu. Kakak favorit gw, yang sering rada-rada culun dan pelupa, justru sering gw kagumin karena berbuat lebih banyak hal ang bener-bener harus dikerjain. Mimpin suatu organisasi dan bersibuk diri di dalamnya, sambil nyempetin diri untuk kerja nambah penghasilan di tengah-tengah kuliahnya. Dan tetep jadi kakak yang okeh-dah mau ngedengerin dan sering nraktir (hehehe).
Yaa...bikin gw heran sendiri. Toh ternyata tidak sulit untuk ngebikin diri kita bijaksana. Ketika kita ngaku-ngaku kita sebegitu bijaksananya, menurut gw, di saat itu juga kita tersandung perkataan kita sendiri...orang bijak adalah mereka yang merasa dirinya selalu kurang dan berusaha mencari tahu, menyadari kehebatan banyak orang lain, dan berusaha belajar dari mereka ketimbang menyruh irang lain belajar dari dirinya. Dangw gak tau harus ngomong apa lagi. Gw ketemu dia aja udah males...sindiran pun gak mempan...
Atau emang harus frontal?
Gak tau deh...God...just give me some strength...I really need You anyhow!

Sunday, February 20, 2005

Karena itu...saya bahagia...

Kapankah dalam kehidupan kita bisa merasa bahagia?
seseorang yang saya kenal, selalu mengklaim bahwa kebahagiaan yang saya miliki benar-benar kebahagiaan semu karena saya hampir-hampir selalu merasa bahagia sepanjang masa kehidupan. Tetapi saya memang begitu, memiliki keluarga yang fine-fine saja, sahabat-sahabat yang terbaik, dan tempat dimana saya bisa mencurahkan kemampuan saya dalam berbagai bidang yang saya minati. katakanlah, saya cukup beruntung. makanya, sebelum teman itu berkata seperti itu pun, saya sudah tau, kehidupan di masa mendatang saya mungkin bakal luar biasa berat. mungkin akan membuat saya menangis darah atau apalah...
Tapi saya tidak terlalu peduli. Kehidupan...ya dijalani saja. memang sulit untuk diterima dan kita pahami, tapi kenyataannya semesta kehidupan yang tengah berjalan adalah sepenuhnya milik dan kehendakNya. Pahit ataupun manis, tidak sebanding dengan apapun yang manusia akan rasakan ketika menikmati perjumpaan denganNya. Dan ketika saya tengah berada di bawah sini, di sebuah bumi yang dikatakan fana, saya hanya berusaha menikmati setiap jengkal momen dan masa yang terlewati, makanya saya bahagia.
Tadi siang, saya melihat seorang ibu di Salman yang mukanya lebam biru. anak kecilnya yang berkeliling di Salman, bajunya sudah bau tidak keruan...ada apa? rupaya, suaminya yang 'nikah lagi' memukulinya. jadilah dia berhari-hari berkeliaran di Salman karena takut untuk pulang! Masya Allah! Dia ditemani seorang akhwat di Salman. semoga saja Allah memberinya pertolongan dan ketenangan untuk menghadapi kehidupan, karena dari cerita yang saya dengar, beliau cukup shock dan terlihat linglung...
Llau saya melihat sekeliling lagi, sambil berdiri di depan tempat wudhu masjid. saya melihat gedung kayu yang sudah saya singgahi hampir setiap hari satu tahun belakangan ini. teman-teman saya dari berbagai unit, ataupun teman kampus. anak-anak kecil yang tertawa-tawa kecil melihat jualan Karisma, atau ibu-ibu yang sibuk tertawa melihat anak-anak mereka. Akh...saya bersyukur...karena kehidupan bisa begitu indah. karena segala sesuatunya bisa dinikmati. karena segala kejadian, bisa diambil hikmahnya. dan saya tidak pernah sendiri. manakala kesedihan menimpa pun, mungkin tidak seberat yang ibu muda itu alami. kalaupun lebih berat, saya yakin, di tengah kegalauan keputusasaan saya itu, mungkin, akan ada sinar cintaNya yang tdiak pernah hilang. karena kita tidak pernah benar-benar sendiri, karena kita tidak pernah benar-benar tidak diperhatikan...
Selalu ada diriNya.. memenuhi setiap rongga nyawa dan hembusan nafas yang kita hirup, meyakinkan kita, bahwa hidup hanyalah 'sebegini' saja, dan ada keabadianNya yang selalu indah untuk dinanti dan mungkin kelak dirasa.
Karena itu...saya bahagia...

Akhirnya Saya Bertanya!

Akhirnya saya berani bertanya! Sebetulnya saya sudah lama pensaran, tapi tak kunjung berani untuk bertanya langsung. Karena mereka selalu terlihat sibuk, dan tentu saja, saya takut dimarahin! ^_^ ternyata tidak. Penyebab utamanya sampai saya berani adalah ketika siang harinya, saya yang lagi-lagi duduk di bangku depan, diajak ngobrol oleh salah satu dari mereka. Siapa sih? Hehehe...mereka adalah, supi angkot. Khususnya, angkot Sedang Serang-Caringin...
Si supir angkot yang ramah ini udah mulai saya curigai ketika pertama kali mau naik. Karena, penumpang seblumnya yang juga duduk di depan, turun di depan kampus dengan senyum serta bekas tertawa. Dalam hati saya lalu berpikir...’wah supirnya pasti tukang ngobrol’ dan benar saja!
Awalnya poerjalanan cukup adem ayaem. Sampai di lampu merah simpang, ada mbak-mbak yang ngebayar dengan uang 20ribuan. Entah kenapa, tapi dia cuma membayar sekedarnya, tanpa senyum atau apa- hal yang seringkali kita juga luput untuk ‘lakukan’. Setelah mbak2 itu lewat, mulailah pak supir mengajak saya ngobrol. “ wah, sayang ya neng, cantik-cantik gak senyum!” walah...si bapak. Ya udah, saya pun membalas dengan ‘he-eh’ sambil tersenyum luebar pisan! (hehe...jadi nggak enak!). dan si bapak jadi cerita ke mana-mana. Be;iau bertanya saya kuliah tingkat berapa? “ tingkat dua pak” terus bertanya lagi “ wah masih lama dong neng.” “ hehehe..iya” “ mahal ya neng? 1,3 juta katanya?” “ iya sih pak...(sebenernya lebih mahal! 1,5 juta plus sbpt 500 ribu!!!oi..oi!!!” dan si bapak pun bercerita betapa saya harus menghormati orangtua dan tidak pernah menyakiti hati mereka...wah..si bapak wise juga. Rupanya beliau sudah beanak dua, dan masih kecil-kecil. Satu 5 tahun, dan satu setengah tahun. Tapi sebelum percakapn selesai saya harus turun, karena sudah sampai di tujuan!!
Nah, karena pengalaman siang itu, saya jadi punya sedikit keberanian tambahan sore harinya. Seperti biasa, saya duduk di depan. Dan ketika pak supir ngetem di simpang, saya bertanya “ berapa kali sih bang, muternya?” “ eh-oh-rupanya dia kaget ditanyain- hmm kalo pagi sih 3 kali, berarti sehari ya...6 kali, neng. Capek juga! “ “ iya, ya pak. Rute yang sama satu hari terus-terusan...” bayangin!!! “ terus, penghasilannya berapa bang?” “ oh...hmm buat disetor 125 ribu. Belum bensinnya, biasanya 60 rb, jadi dapetnya ya 30-50 ribu” “ wah, lumayan ya bang.” “ iya sih, tapi capeknya...kalo lagi penuh bisa dapet 100rb sehari. “ wah terkagum deh gw. Dan yang paling penting pertanyaan terjawab. “ yaa...gimana lagi neng. Pekerjaan mah nggak ada yang nggak capek...” wah bener banget! Gw aja, bekerja yang nggak digaji, kuliah maksudnya, masa’ harus sering ngeluh? Sedangkan si bapak, mesti melewati ENAM KALI dalam sehari rute yang sama, NYETIR lagi! Cuapek buanget!!!
Yah..begitulah. semoga setiap hari kita semakin bijak dengan mencoba menghargai mereka-mereka ini. Dengan terkadang, saat keuangan tidak terlalu seret, menambahkan biaya angkot, bersabar ketika mereka ngetem, bersabar ketika kembalian kita disunat, dan mengucapkan terima kasih, serta seutas senyum ketika turun dari angkot...paling tidak, berusaha menyejukkan hati mereka...Toh Islam, yang penting itu adalah berbuat baik untuk sesama, kan? Mari diamalkan!!! Dan menghargai, mereka- mereka yang bekerja keras setiap hari dari subuh sampai malam lagi, untuk selembar lima puluh ribuan...

Wednesday, February 16, 2005

Agar Berusaha Lebih Keras

Kadang...kita kurang berusaha lebih keras. Keliatan dari luar sih seolah-olah udah kerja keras dimana-mana, tapi kenyataannya kita punya manajemen waktu yang buruk banget, sampe2 gak bisa ngatur waktu buat belajar dan organisasi. Semester ini, ada buanyak banget hal yang harus dikerjakan. Kalau dilihat kasat mata...well...luar biasa sibuknya. Dan gak jarang ada rasa ketakutan apakah ini semua bakal diselesaikan dengan sebaik mungkin. Padahal di setiap hal ini, ada tanggung jawab yang besar banget. Yah...gak ada gunanya untuk ketakutan, atau ngerasa putus asa. Kita nggak boleh berhenti mencoba dan berusaha. Kenalan gw, pernah berkata bahwa dengan niat gw lulus on time dan seklaigus berkecimpung di dunia organisasi yang seabrek-abrek, gw nggak bakal bisa selesai fine-fine aja. Dan entah udah berapa kali tuh orang nyindir gw...but...let’s just be humble, dan ingat serta berusaha untuk pasrah, bahwa semua usaha, kerja keras, keringat, dan semakin sempitnya waktu untuk bersenang-senang, adalah bentuk usaha dalam mengejarNya...mencari keridhoanNya...dan menyadari betapa pendeknya usia, sehingga setiap detiknya tidaklah berarti kalau hanya menjadi sia-sia. Semoga kita semua bisa jadi hamba yang mampu bertanggung jawab, dan nggak banyak omong kosong dengan lebih banyak berbuat dengan kesungguhan!
For Mom, Dad, Nip, Sen, Friends in IC, SMC, Karisma, and Bio...thank you!

Thursday, February 03, 2005

Ketika Terasa Sebuah Kekurangan

Ini dia yang kurang. Kak Zaki...thanks banget commentnya!! Iya, gw kurang ‘turun ke jalan’...gw pernah diceritain kak Zaki suatu kali pas dia abis balik ngunjungin LP buat ngambil beberapa foto. Ngiri juga sih...rada kelabakan juga pas ngobrol, karena gw gak tau dunia itu. Tapi yang gw tau, bahwa apapun yang kita lakukan sekarang, indahnya jadi mahasiswa, bla-bla-bla, nggak ada apa-apanya ketimbang ketika berada langsung di tengah-tengah masyrakat real. Kita liat indah2nya doang sih...
Gini contohnya. Suatu kali, di depan gerbang SR ada penjual bubur kacang ijo. Terus, walau sebenernya gak pengen – pengen banget, karena gak tega, gw beli aja. Paling 2000an. Beliau cerita dulu biasanya mangkal di kampus, pindah-pindah tempat dari GKU lama, Labtek Biru, dll. Udah tujuh tahun kalo gak salah. Dan mesti keluar karena imbas terlalu banyaknya penjual ‘liar’ di dalam kampus. Apalagi di luar pendapatannya gak selancar di kampus. Terutama hari minggu, kalo hari biasa rame karena biasa nangkring di deket bank BNI yang didatengin pegawai kantornya. Tapi hari minggu itu, ditengah hujan yang masih rintik-rintik...udah sore lagi, dagangannya masih banyak banget...nelangsa...gw jadi beli dua bungkus...Gak mungkin gw bilang, ‘hmm...biar kampus lebih rapi, Mang’ atau ‘ Ya..siapa tau di luar ada rezeki yang lebih lancar Mang’ waduh...sok tau bener gw! Gw cuma bisa senyum sambil ngangguk-ngangguk nggak jelas...what were I suposed to say? Karena yang dia pertanyakan bahwa tujuh tahun setiap harinya dia memanggul bubur kacang ijo itu tidak berarti dia memiliki sedikitpun ‘saham’ terhadap sang kampus biru...nope...dia cuma numpang lewat. Dan kita-kita ini, yang mungkin biasa memesan semangkuk buburnya, dengan keseharian yang serba santai...adalah ‘penduduk’ resmi sang Ganesha...
Di lampu merah deket simpang Mc Donald’s, ada dua pengamen yang gw suka banget. Satu kelihatannya kalo bukan orang Irian, ya Manado. Suaranya...weleh...bagus pisan! Suara nggak bakal ngefek kalo gak diikuti lagu yang bagus, dan jangan ditanya, seleranya keren-keren. Yang bikin gw ‘jatuh cinta’ pas dia nyanyi ‘Lost In Space’nya Lighthouse Family. Juga salah satu tukang ngamen yang rambutnya uwel-uwelan banget, berkacamata, biasa megan gitar, gw paling seneng kalo dia duet sama si Irian ini...bagussss...banget. sayang udah berminggu-minggu dua orang ini nggak nongol. Mungkin lagi nyari ‘arena’ lain...
Gw pernah tergoda buat nyapa supir angkot di sebelah gw pas angkot berdiri buat nanya ‘ berapa sih Kang (gak enakan pake Mang, padahal kata ibu gw yang udah 19 tahunan di Bandung, bilang itu gpp)dapetnya sehari?’,’ yang disetor berapa?’,’buat apa sih bayar retribusi-retribusi itu? Apa cuma tukang palak?’...tapi belom berani. Waktu itu pernah ada supir yang ramah banget, gw ditanyain udah selesai ujian apa belom (waktu itu naik dari depan kampus, dan emang musim ujian)...tapi waktu itu belom kepikiran buat nanya yang laen-laen...gitu deh!
Mudah-mudahan seiring waktu, ada banyak hal yang bisa dibuka dan dipahami...belajar nggak hanya dari buku tapi juga ‘buku-buku kehidupan’...setiap manusia dan kejadian itu sendiri...semoga....(kak Zaki...thanks lagi!!!)
(btw...dah pada denger lagu PHB/Pemuda Harapan Bangsa? Emang konyol deh...)

Why Am I So Happy...

Gw jadi bahagia akhir-akhir ini...gimana ya, simply I got everything i need right now. Ada temen gw yang bilang kalo apa yang gw miliki sekarang cuma temporer, kabahagiaan gw bisa berubah dalam sekejap dan semua hilang...dan mungkin gw gak bisa tersenyum lagi. Tapi...toh momen inilah yang sedang gw alami sekarang dan menikmati setiap momennya membuat gw ngerasa bahagia. Seberapa singkatnyapun ini...kalau kelak waktu akhirnya berpindah dengan cepat, batu kegelisahan dengan mudah masuk ke kehidupan gw. Apalagi perpisahan, apapun bentuknya, pasti nyakitin.
Dulu, pas di IC, ada sebuah atmosfer kebahagiaan yang seolah-olah everlasting. Dan membuat segalanya jadi beraaaaaat banget pas mesti ninggalin itu semua. Tapi toh terlalui, dan ada kebahagiaan baru yang gw dapetin plus kenangan yang indah banget tentang masa lalu yang terus-terusan gw ceritain ke temen-temen yang ada di deket gw sekarang.
Oya, ini beberapa orang yang bikin gw tambah bahagia aja nih akhir-akhir ini...
Of Course, always: My Mom, Dad, and Sis, for always telling me everydays stuff and simple things to make me strong. Intinya nih, saking panjangnya sejarah gw bersama mereka (2 bulan lagi genap 20 tahun) semuanya ngebahagiain...yang pahit pun.
My Buddy:
Ketika kekusutan itu mulai terurai
Dan hati kita kembali tersambung
Dan ‘jarakmu’ ‘jarakku’ tak lagi berarti
Karenamu selalu dekat

Karena kebaikan hatimu mencerahkan hariku
Dan kesahmu menunjukkan dirimu masih...manusia
Aku hanyalah salah satu dari mereka yang beruntung
Menemukanmu di tengah semesta yang sesak menyesatkan

Air mata yang menetes
Setiap kali teringat berkahNya
Menyambungkan tali kita...

My Big Brother! : the funniest person I’ve ever met! Gak juga sih, tapi nice try banget-lah untuk bikin gw ketawa. Bahkan dengan gak sengaja, atau sengaja dengan ngiri-ngirian. Dengan cewek-cewek yang ‘meleleh’ karena dia, tapi dianya aja nggak peka dan nganggep itu so-so-lah...kakak...kakak...nasihat yang suka nggak connect, jadi kebaikannya pada akhirnya menutupi kekurangan yang satu itu, selalu apa adanya, ikhlas, dan memberikan yang terbaik ia miliki setiap hari. Setiap ketemu. Setiap konyol-konyolan. Setiap bercanda. Setiap cerita. Setiap kisah yang diulang. Setiap cita-cita. Setiap kata, “ Fah, tadi aku....”. Setiap traktiran!! Anytime I need a brother...Real big thanks!

Anything From IC, SMC, Karisma, Salman, and real good friends in Bio... Thank God!

Boost Energi!!

Baru-baru ini, beberapa bulan gua dapet ‘boost’ energi untuk berbuat sesuatu di setiap amanah yang gua pegang untuk lebih total, berkomitmen, dan dengan pengaturan waktu yang baik...Temen gua – the almost brother- cerita tentang senior gua di jurusan yang sama dengan gua, katanya, beliau belajar setiap abis subuh dan sorenya udah pegang buku lagi...wah hebatnya...gua rada’ beralakan sih. Kuliah sibuk, organisasi banyak, tapi gak gua manajemen dengan baik! Ya...nyesel juga nggak guna, tapi yang pasti gua mau berusaha lebih baik lagi dengan manajemen yang baik tentunya, terutama mengerjakan apa yang ada sesegera mungkin dan mengatur waktu belajar (cum laude dong!! Amin!!). gua juga jadi semangat ikut PTK 1 Karisma (semacam proses kaderisasi organisasi) karena selain udah ditohok oleh ‘my almost brother’ itu, dikasi semangat sama ‘my buddy’, gak mau ngulang semester itu –apalagi bareng angkatan di bawah gua-, juga ternyata materinya ternyata rame! Insya Allah ada beberapa tambahan SKS dan amanah...wuihh...semoga kuat deh! Lagian gua pengen bikin ortu gua tambah hepi...their first daughter gitu loh...:) dan tentu aja pemenuhan setiap apa yang ada di dalam diri gua (I need to feel complete...)

Ketika Blog 'Cuma' Jadi Forum Curhat

Di majalah Tempo yang baru, (yang ada angka gede 100...edisi khusus pak SBY), ada surat dari Roy Suryo yang ngomentarin tentang Blog dan Friendster. Emang sih, ini termasuk forum di internet yang termasuk ‘musiman’ dan mungkin udah basi di negara asal pemciptanya, dan emang sih...isinya kebanyakan curhat (lihat aja blog gua...) tapi yang gua seneng dari blog, yah...walaupun sedikit ada beberapa orang yang membaca apa yang kita pikirkan, apa yang kita rasakan, dan mungkin dengan baiknya mau ngasih komentar...rasanya enak aja. Bahkan mungkin ada kata-kata yang tidak sanggup kita katakan kepada seseorang, melalui jalur ini terungkaplah...walau sedikit...pembelaan nih...tapi emang enak sih...

Tuesday, February 01, 2005

Mengisi Titik Cinta di Ujung Waktu (Cerpen)

Mengisi Titik Cinta di Ujung Waktu
Kalaulah cinta boleh disemai sebelum pernikahan tiba, maka ia akan menjadi nilai pernikahan yang menjadi titik awal penguat perjalanan selanjutnya. Seperti manakala Rasulullah iba akan cinta seorang pemuda yang ikut perang melawannya karena mengejar cinta seorang wanita, dan ketika matinya tiba karena tebasan di leher, wanita yang dikejarnya pun menangis dan meninggal dalam satu – dua hembusan nafas. Selama kecintaan itu tidak diwujudkan dalam bingkai nafsu, tak apakah?
Waktu berdetak kencang, dan hembusannya menerpa menghabiskan jatah waktu yang semua manusia miliki. Tidak pilih kasih, juga kepada kedua manusia ini. Ketika waktu berlalu, kejengahan yang ada di antaranya tidak juga kian tersambung...bagaimanakah? Nabila telah mencintai lelaki ini 6 tahun lamanya. Tak usah heran, karena kebingungan itu juga selalu muncul dalam dirinya...apa yang membuat sosok ini begitu istimewa dan enggan beranjak pergi? Padahal mereka cuma berjumpa paling sering sekali dalam satu bulan, apa karena keterikatan hati itu telah ditakdirkan? Dan nampaknya talinya enggan untuk putus. Bahkan ketika banyak hati yang telah mencoba meminta tangannya.
Nabila baru saja menyelesaikan gelar sarjananya di teknik kimia ITB. Dengan IPK yang lumayan bagus, 3.2. Empat tahun yang dilaluinya juga diisi dengan hari – hari perjuangan di kampus, mulai kegiatan di kabinet, jurusan, juga di Masjid Salman. Sehingga lamaran yang mengalir bukan hanya tiba di akhir masa perkuliahannya, bahkan ketika dia berada di pertengahan tingkat dua, mereka - mereka yang melihat ‘kecermelangannya’ mulai datang, tapi harus pergi lagi. Bukan karena apa-apa. Dia telah berusaha, melihat semua yang pernah meminangnya itu dengan pandangan yang objektif, bahkan ketika konsentrasinya penuh dan tidak membandingkannya dengan seorang lelaki yang selama ini masih bercokol di hatinya. Tidak ada yang kurang dengan Arya, termasuk kalangan aktivis yang taat beribadah, pintar di kuliah, sejurusan pula, tapi istikharahnya tidak meneguhkan hatinya untuk memilih jawaban ‘ya’. Maka istikharahnya adalah untuk menjawab tidak, dan semoga ini sesuai dengan ketetapanNya. Begitu juga ketika teman lamanya dari SMP yang rupanya telah menjelma dari seorang anak ingusan yang dulu sering bertengkar dengannya menjadi seorang enterpreneur di usia muda, plus dengan transformasi keimanan yang kelihatannya cukup menjanjikan, Nabila belum juga bisa berkata ‘ya’.
Murobbinya sudah berkali – kali bertanya, apa lagi yang ia tunggu. Toh mereka yang berusaha meraihnya bukanlah sembarang orang, dan juga usianya sudah cukup untuk menikah. Tapi ada satu lingkaran di hatinya yang menolak, karena dia seolah menunggu kedatangan orang yang tepat...dan entah kenapa masih juga berputar di orang yang sama. Yang bahkan tidak pernah menjanjikan suatu permintaan itu. Menikah. Dan nama lelaki penimbul ketidakbersudahan penantiannya ini adalah Husain. Seseorang yang baru saja menyelesaikan status sarjananya di Hukum Internasional UNPAD dan sedang akan mengambil program masternya juga. Seorang sahabat yang telah dikenalnya sejak 7 tahun yang lalu. Ya, ketika rok abu-abu pertama kali dikenakan, dan ketika jilbab yang biasa dipasang sekenanya, kadang diikat ke belakang, mulai dipanjangkan, menutupi kehormatan dengan lebih anggun. Dan persahabatanlah yang mereka selalu pilih, bahkan ketika tirai hati itu terbuka, bahwa mereka berperasaan sama, semuanya itu tidak menimbulkan keinginan seperti layaknya hubungan cinta ala SMU, memproklamirkan lalu mulai ‘jalan’ berdua. Berpacaran. Tidak, karena mereka sama-sama tahu, apa yang mereka rasakan akan seketika rusak begitu nafsu masuk ke hubungan mereka. Jadilah proses menyakitkan itu dimulai, tetap bersahabat dengan menekan perasaan suka. Untunglah kuliah memisahkan mereka cukup jauh.
Tapi apalah artinya fisik, tempat, dan waktu yang berjarak manakala hati menjadi penghubungnya? Mereka tidak pernah bicara banyak tentang cinta, tapi lebih banyak berdiskusi, tentang bagaimana seharusnya dunia dan kehidupan dihadapi. Bagaimana mencoba merasakan setiap serat keimanan berdetak di pembuluh darah? Atau saling berkonsultasi dalam dinamika keseharian yang tidak ada habisnya. Masalah, kegembiraan, kecewaan, yang dialami di kegiatan kuliah ataupun dakwah. Bahkan aliran lamaran yang Nabila alami. Dan sahabatnya itu hampir selalu punya jawaban yang tepat atas pertanyaannya. Tapi dia tidak berani mempertanyakan yang satu ini.
Menyatakan lamaran bukanlah barang haram yang tidak boleh dilakukan oleh seorang muslimah. Bahkan banyak hadis yang sudah memperkuat keyakinannya itu. Tapi bagaimana seharusnya ia melakukannya? Melalui orangtuanyakah? Murobbinya? Atau dia mempertanyakannya dulu kepada Husain? Entahlah, semuanya sama-sama tidak sanggup ia lakukan...dan semuanya lebih karena rasa malu yang bersangatan. Atau dia menunggu saja? Husain tidak pernah bercerita tentang siapapun yang memiliki kesan disukainya dalam empat tahun ini. Tapi kalau menunggu adalah tindakan terbaik, sampai kapan? Kalau gayung itu bersambut, kalau tidak? Padahal kerinduan untuk menggenapkan agama itu sudah mendesak di kalbunya. Bukan sekedar memenuhi fitrahnya sebagai wanita untuk menjadi seorang istri. Tapi memenuhi kebutuhan dasar manusia, takdirnya ketika dilahirkan di dunia, menemukan pasangan jiwanya...Dan sebulan sudah berlalu semenjak masa ketika ia diwisuda, dan sms yang ia peroleh dari Husain tidak lebih dari ucapan selamat. Haruskah ia beranjak pergi saja? Sebuah prosedur program master ke Jerman memang sedang ia ikuti, dan tampaknya akan beroleh hasil yang cukup positif. Haruskah ia mencoba lebih fokus dalam karir pendidikannya dan melupakan sejenak masalah pernikahan ini? Toh, umur 22 masih ia jalani...

Sementara itu, di Jatinangor...
Husain sedang dalam kegelisahan yang memuncak. Sms terakhir dari Bila, panggilannya sejak SMU untuk Nabila, menyatakan niat Bila untuk pergi jauh ke Jerman melanjutkan sekolahnya. Dia tahu inilah yang akan ia hadapi. Sejak dari dulu dia sadar bahwa perempuan yang satu ini bukan perempuan sembarangan, cita-citanya besar, dan keinginannya untuk melihat dunia terbentang luas. Dan ketika kesempatan ini terbuka di depan matanya, Husain yakin, Bila akan meraihnya. Tapi Husain telah mengenalnya tujuh tahun lamanya, dan menyadari bahwa dibalik cita-cita yang satu itu, Bila selama ini juga memiliki keinginan besar mewujudkan sebuah cita-cita ruhaninya. Menikah. Husain beberapa kali cukup kelabakan, ketika beberapa lamaran sampai kepada Nabila berkali-kali. Sebegitu populernyakah ia di sana? Tapi ketakutannya bahwa Bila akan menikahi salah seorang pelamarnya tidak terjawab. Dari semua cerita yang Bila tuturkan padanya, selalu terungkap bahwa belum ada satupun dari mereka yang benar-benar membuatnya yakin dalam menyatakan ‘ya’. Seolah menunggu seseorang. Bukan sekali dua kali Husain bertanya pada dirinya sendiri, diakah yang tengah Nabila tunggu? Mungkinkah perasaan yang bersemai bertahun-tahun lalu sekaranglah waktu yang tepat untuk dibingkai dalam keindahan pernikahan? Atau semuanya tidak lebih dari harapan hatinya belaka? Bahwa dia ingin Nabila juga mengharapkannya? Tak lebih dari ‘gede rasa’ yang muncul di dalam hatinya? Bukankah Nabila memang selalu bercita-cita untuk meneruskan sekolahnya? Mungkin dia akan menikah dengan mahasiswa Indonesia yang ditemuinya di sana? Atau bahkan lelaki muslim dari negara asing, entah dari mana asalnya?
Husain berkali-kali sudah memikirkan kemungkinan menikahinya. Bahkan ketika di SMU dulu. Dia tidak bisa meneruskan hubungan mereka karena takut nafsulah yang menjadi pengikatnya, tetapi tidak bisa melepasnya begitu saja karena yakin bahwa perasaan ini bukan sekedar suka. Iya, dia mencintai gadis ini. Tapi apalah yang ia miliki ketika SMU? Karena itu dia berkonsentrasi untuk menyelesaikan sekolahnya dulu, fokus di jalur itu. Sambil mulai menabung dari mengajar privat yang keuntungannya belum terlalu banyak. Tapi sanggupkah ia bila mengajaknya menikah sekarang? Husain memang baru akan lulus dan diwisuda beberapa minggu lagi, tapi sembari meneruskan program masternya, dia juga sudah memiliki beberapa tawaran kerja. Tapi rumah, sumber keuangan yang tetap, bukanlah sesuatu yang ia miliki. Belum lagi kalau Bila memang akan pergi, Husain tahu, bahkan dirinya tak kan sanggup menahannya...

Dua bulan berikutnya...
Sebuah nomor telpon muncul di layar hp Husain. Nomor rumah Nabila di Jakarta. Ia memang sudah pulang untuk mengurus program masternya. Husain sedang mengantri menunggu panggilan wawancara di perusahaan yang namanya sudah direkomendasikan sebelumnya.
“ Halo. Assalamualaikum...Sein?”
“ Waalaikumsalam. Ada apa, Bil?”
“ Ayo...coba tebak...ada apa...berita gembira nih!” ah...Husain sadar, yakin bahwa proposal beasiswa program master Bila lolos. Tapi...tunggu dulu, bagaimana kalau bukan tentang hal itu...tapi...
“ Ka-kamu...menerima...lamaran seseorang?” tanyanya penuh kecemasan dan sekaligus harapan.
“ Hah? Kok menerima sih? Bukan...lamaranku diterima Sein! Subhanallah...aku...” ja-jadi dia melamar laki-laki lain, dan lelaki itu menerimanya? Na..Nabila...Tapi sebelum pikiran kacau itu merasuk lebih jauh di dalam pikirannya, Nabila melanjutkan percakapannya, “ akan berangkat ke Jerman insya Allah 3 minggu lagi, Sein! Aku diterima! “
Kelegaan tiba-tiba mengalir ke dalam dirinya, seolah-olah baru pertama kali ia merasakan bahwa darah benar-benar berdenyut hangat. Tapi kegelisahan yang baru muncul.
“ Eng...kalau begitu, kamu akan pergi dari Indonesia tiga minggu lagi?” keheningan tiba-tiba mendominasi percakapan mereka, entah apakah itu perasaannya saja, tapi Nabila berhenti beberapa saat sebelum menjawabnya. Didengarnya sebuah helaan nafas, tanda yang ia kenal sebagai suatu kegelisahan pada Nabila, baru ia mulai menjawab. Dan sebuah kata, “ Ya” mematahkan hati Husain dalam satu hentakan.
“ Wah, Alhamdulillah, kalau begitu, selamat ya. Jangan lupa ngasih kabar, aku mau ikut mengantarmu nanti...” tapi nada bicaranya sudah sebegitu lemasnya. Salam kembali saling diucapkan, Nabila tak lupa mengucapkan selamat berjuang dalam wawancara Husain nanti, karena tadi pagi ia sempat meng-sms meminta Bila ikut mendoakan keberhasilannya. Lalu telpon ditutup. Dan kedua hati itu bertanya dalam keheningannya masing-masing. Mungkin ini yang terbaik...

Satu Minggu sesudahnya
Apabila ia mengikuti program kuliahnya ini, ia akan berpisah dengan Indonesia mungkin sampai dua tahun. Apakah kemungkinan itu benar-benar tertutup? Husain mungkin nanti sudah menikah dengan orang lain, atau dia yang dilamar orang lain disana. Lihat saja, tidak ada satu kalimatpun tentang pernikahan ia utarakan. Dan kemungkinan menolak pasti akan semakin tipis, karena usia akan semakin berkurang, padahal sebisa mungkin ia ingin memenuhi nikah ini seperti pada usia ibunya dahulu, 23...entahlah...pikir Nabila...terserah Allah akan membawaku kemana kelak...sekarang sekolahku harus menjadi fokus utama. Tapi layakkah sebuah cinta dikorbankan?
Sementara itu Husain juga terus berpikir. Apakah ia pantas menjadi pengecut yang menyerah begitu saja? Padahal sudah beberapa orang yang telah dengan berani mengajukan proposal pernikahan itu pada Nabila, tapi seorang Husain, yang ia yakini memiliki ketulusan cinta kepada Nabila, tidak sanggup bahkan hanya untuk mengutarakannya. Tapi kalau aku sampai menyatakan ini, pikirnya, bukankah hanya akan mengganggu rencana hidupnya yang sudah direncanakan sedemikian rupa?

Seminggu kemudian
Sebuah surat undangan sampai di rumah Husain. Undangan pernikahan sahabatnya di bangku kuliah. Dan pasangannya...seorang akhwat kampus lain jurusan yang memang temannya itu dulu sering ceritakan. Dia juga ingat bahwa mereka berdua hanya kontak melalui pesan singkat antar handphone. Itu pun isinya lebih berkaitan dengan organisasi dimana keduanya terlibat. Tapi ia ingat percakapannya waktu itu.
Aku rasa...aku mencintainya. Kau tahu, Sein? Cinta sebelum menikah memang tidak mutlak, tapi karena aku sudah mampu merasakannya, tidak ada hal lain, dia gadis yang baik, aku akan segera memintanya menikahiku! Doakan aku Sein!
Bahkan dia bisa seberani itu! Husein tertegun, teringat email kemarin dari Nabila yang menceritakan rencana lengkap keberangkatannya. Jam dan sebagainya. Keputusan harus segera dibuat!

Hari keberangkatan Nabila
Nabila gelisah. Husein belum juga tiba padahal dia berjanji akan ikut mengantarnya. Orangtua dan beberapa sahabatnya sudah sedari tadi ia pamiti, tapi sahabatnya ini belum muncul juga. Akh...apakah kami memang harus berpisah begitu saja? Pikirnya. Sampai tiba-tiba pelupuk matanya menangkap sosok seseorang yang sudah tujuh tahun dikenalnya itu, turun dari sebuah taksi. Husein menangkap sosok itu balik...
“ Assalamualaikum! Bila!” Husein sangat lega karena bila masih ada di sana. Dan tidak ada yang bisa menahan senyum Nabila dari merekah lebih lebar.
“ Waalaikum salam. Ya ampun, Sein...aku sudah hampir masuk ruang tunggu loh...”
“ Ma-maaf” ujarnya sambil berusaha menahan mukanya yang kelihatan agak pucat, “ a-aku harus bicara de-dengan...Ayahmu...” semua orang mendadak keheranan. Kedua orangtua Nabila saling melihat, lalu bertanya dengan serius kepada Husein. Mereka memang sudah pernah bertemu sebelumnya.
“ Ada apa, Sein?” ayah Nabila bertanya, pria ini, yang sudah kepala 50 tapi terlihat 10 tahun lebih muda dan sebaliknya memiliki kebijaksanaan yang seolah-olah berlebih 10 tahun dari usia sebenarnya.
Husein memandang sejenak ke arah Nabila, dan wajah Nabila yang kebingungan masih terpampang. Lalu meluncurlah kalimat itu.
“ Maaf, Pak. Tapi saya...mencintai Nabila. Dan satu-satu keinginan saya untuk memuliakan perasaan ini adalah, dengan meminta Nabila untuk menikah dengan saya...”
Pernahkah kita merasakan sekali dalam kehidupan kita, sebuah keheningan momumental yang membahagiakan? Waktu memang tidak pernah berhenti, tapi pada saat itu, waktu memang seolah-olah berhenti...
Ayah Nabila tersenyum, lalu berkata.
“ Coba kamu katakan saja langsung kepada orangnya...”
Dan itulah momennya, dengan segenap keberanian itu Husein mengungkapkan perasaannya. Sebuah cinta yang tertidur selama tujuh tahun lamanya, dan baru sekarang mampu ia ungkapkan...
Bismillah...aku mencintaimu Nabila. Maukah kau menikah denganku?
***

Langit Jerman tidaklah berbeda dengan langit Indonesia. Mengandung keindahan dan magis keajaiban penciptaan Allah yang sama. Tapi apakah cinta mampu membuatnya berubah? Bahkan membuat sebuah rasa syukur akan limpahan kehidupan menjadi berlipat ganda? Nabila tersenyum sendiri menyaksikan senja itu, ketika pesawat akan mendarat, dan mulai dari titik itu perjuangan barunya sebagai seorang mahasiswa akan dimulai lagi. Tapi ada status baru yang tak kalah sabar ingin ia jalani, insya Allah enam bulan dari sekarang ketika liburan musim dingin tiba...menjadi istri seorang Husain Abdillah...(ulfah)

Jalan-Jalan Ke Luar Negri...

Gw cukup beruntung karena sejak kecil ‘terbiasa’ untuk jalan-jalan ke banyak negara dan tetap ‘sederhana’ dengan jalan-jalan itu. Orangtua gw emang bukan orang kaya, yah...cukuplah. biasanya, kalo lagi ada rezeki, dipake buat jalan-jalan, baik di kawasan lokal, atau kalau rezekinya emang lagi ‘lumayan’ ke luar negri-lah. Ayah gua, adalah traveller yang paling gua kagumi. Udah pernah ke semua propinsi di Indonesia, bahkan ke hutannya Irian Jaya dan ngelewatin sungai di Kalimantan. Kemudian, bersama2 umi, a.k.a ibu gua, sekolah ke Inggris dan semasa liburan menjelajah paru besar kawasan Eropa dengan mobil sedan second-hand itu. Gua ikut pas itu karena udah umur 2-3 tahun. Adik gua bahkan lahir di Inggris. Ayah juga udah pernah ke Jepang. Dan berempat, udah empat kali ke Tanah Suci, Mekah (walau kunjungan pertama adik gua gak ikut, karena emang belum lahir. Pas kali kedua ke sana, adik gua juga masih di perut nyokap. Umur berapa bulan gitu...). malaysia dan Singapura, udah lumayan sering...ayah bahkan –walau dibiayain bosnya- pernah ke Penang cuma buat maen golf! Alhamdulillah rezeki Ayah emang cukup lancar. Tapi jangan dipikir kita ke sana bermewah-mewahan. Setiap jalan ke luar negri, selalu dilakukan ‘penghematan’ ketika ada di sana. Waktu ke Singapur 6-7 tahun lalu, kita nginep di salah satu kamar kuecil pisan di Apartemen. Tapi ya asik aja. Yang penting kan jalan2. jadilah kita ngerasain naik bus yang serba tertib itu!!! (wah...shock banget pas pulang lagi ke Indonesia waktu itu) jalan sepanjang kawasan belanja di Singapura, dengan pohon2nya yang luar biasa rindang dengan sarana pejalan kaki yang luaaaasss banget. Terus, nyebrang dari singapur ke Kuala Lumpur dengan biaya mahal, sekitar 300 dolar Singapur dengan taksi! Dan kaget ketika bisa pulang dengan kereta dari KL ke Singapur dengan beberapa dolar aja. Naik kereta malem lagi...terkesan banget...sambil menjelang tidur, bisa ngeliat keluar jendela derap kereta dan stasiun2 yang terlewati... pengalaman menegangkan lainnya pas di Mekah. Biasa, ke sana itu kan mahal, jadi biaya idup mesti hemat. Apalagi kita gak pake travel yang ngurus hotel, dst. Yang bebas. Jadi, umi, adek, dan gw sendiri disuruh nunggu di depan masjid Haram, sementara ayah keliling dari satu hotel ke hotel lain untuk nyari yang paling murah tapi cukup bagus. Jadilah kita nunggu...deg2an juga kalo2 kenapa2 gitu. Alhamdulillah dapet. Kemudian 2-3 hari sesudahnya pindah lagi ke hotel yang pas di depan masjid tapi lebih murah! Wah...seru deh. Pas ke Madinah lebih gawat. Kita ditinggal di stasiun bus. Untung supirnya orang Indonesia, jadi nungguin umi, adek, gw bertiga pas Ayah pergi naik taksi ke kawasan depan masjid nabawi untuk lagi-lagi, keliling nyari hotel yang harganya cukup sesuai sama kocek. Alhamdulillah dapet lagi hotelnya...
Waktu idul adha kemaren ke Penang pun, supaya hemat kita nginep di kamar apartemen yang harganya semalem 45 dolar-an, kira2 100ribu rupiah. Dengan fasilitas, yah walau kamar kecil dan kita berempat numplek plek, tapi kamar mandinya ok, flash-nya jalan, ada wastafel, bersih. Kamarnya juga ber-AC. Ada mesin cuci, kompor buat masak sendiri, dsb. Lengkap deh! Dan kita nyoba naik bus di sana. Padet buanget sih. Tapi tetep aja aja teratur. Bus cuma berhenti di terminal. Dan bahkan, seorang Cina-gaul yang udah gua suudzonin, ngasih bangkunya buat seorang ibu dan anak perempuannya yang berdiri...gak nyangka banget! Oya, kamar apartemennya itu lantai 18! Wah...dapet bonus pemandangan indah...tapi khawatir juga kalo2 ada gempa lagi...lantai 18 gitu loh...tapi tegang juga, abis, lift-nya gak ada lampu penunjuk lantai, entah karena rusak atau apa. Dan, tombol lantai 18-nya tuh gak nyala kalo dah dipencet! Gimana gak serem! Tapi yaa...begitulah...selalu menyenangkan...dan gua selalu bersyukur kepada Allah, bahkan dengan kesederhanaan keluarga gua, setidaknya hal-hal yang memperkaya diri dengan jalan2 itu mampu memperluas pandangan ketimbang kaya buanget tapi stuck di negara ini doang atau keluar negri cuma buat ngerasain enak2nya aja...toh...pas dirasain sekarang, senuanya jadi indah!!

Di Dalam Perjalanan

Gua masuk ke dalam jenis traveller yang suka sendirian aja dalam perjalanan. Kalau jalan sama keluarga sih asik-asik aja, tapi giliran gua mesti pulang sendiri, gua lebih seneng gak diganggu atau diajak ngobrol dan basa-basi. Kadang2 gua cukup beruntung dapet temen sebangku di kereta atau pesawat yang cepet ketiduran, jadi gua gak perlu basa-basi. Tapi rada gimanaaa... gitu pas lagi gak mood, orang di sebelah gua ngajak ngobrol. Kemaren aja, pas di pesawat, ada pengungsi Aceh yang berjilbab lebar duduk di sebelah gua. dia ngobrol sama ibu2 Batak yang duduk paling ujung. Wah...gua udah bersyukur...yess...gua gak perlu ngeladenin percakapan dan bisa nyelesein bacaan gua. tapi karena ngerasa sesama berjilbab, dia nyapa gua juga, percakapannya kira2 begini:
Stranger: ke mana mbak?
Gw: ke bandung.
Stranger:oh...kuliah?
Gw: iya
Stranger: di jurusan apa?
Gw: biologi
Stranger: oh, temen saya ada juga yang di sana. Di pertanian apa?
(nah loh...gua bingung...universitas mana di Bandung yang ada pertaniannya)
Gw: universitas apa?
Stranger: itb apa...
Gw: ipb kali...itu di Bogor
Stanger: oh ya. Tapi ada juga yang di itb
Gw: oh...
Waduh..percakapan yang garing banget, gua lagi gak mood sih! Terus gua jadi ngantuk pas pesawat udah mau mendarat, jadi tidur bentar. Lagian, mana mungkin ngajak ngobrol kalo gua tidur. Eh...dugaan gua salah...
Stranger: mbak asli mana?
Gw: wah...bingung...ceritanya panjang... (Tau sendiri kan?! Umi orang padang yang lahir di jakarta dan besar di bandung. Ayah mandailing-batak yang lahir di palembang dan mulai sma ke bandung. Gua lahir di bandung, terus ke inggris, ke jakarta, ke aceh, ke medan. Smu ke jakarta, dan kul ke bandung. Tapi ortu masih di medan. Tapi rumah asli cuma ada di jakarta...)
Terus ada kesunyian yang garing...banget. untung bagi dia, berinisiatif.
Stranger: ayah orang apa?
Gw: batak (mestinya sih mandailing...tapi ntar orang gak ngerti lagi, kalau mandailing itu di tapanuli selatan dan kebanyakan Islam dan sering gak sreg disebut batak yang identik sama mereka2 di tapanuli utara)
Stranger: ibu?
Gw: padang
Stanger: oh...
Inget lagi, sistem batak itu patrialkal, padang itu matrialkal...jadi berdasarkan adat gua gak jelas, walau berdasar islam, ya gua ngikut nisab ayah-lah...
Pas turun gua jalan buru2, seperti biasa, apalagi mesti ngejer bus ke gambir. Pas nungguin bagasi, akhwat itu beserta satu ikhwan dan satu akhwat lain berdiri di seberang gua. setelah dapet bagasi, karena nggak enakan, gua nyapa akhwat itu lagi sambil pamit pulang. Apalagi gua telah berbuat kejahatan besar dengan ngacangin dia sepanjang perjalanan...hehehe... itu sih ceritanya...seringnya, gua lagi pengen sendiri kalo lagi di jalan!
nb...di blog sebelumnya, salah, sebenernya adek gua udah advanced 6!!

Ketika ke Penang, Malaysia...

Di penang kemaren, berasa banget betapa etnis Cina itu sangat mendominasi. Kata ayah, emang, 80% penduduk pulau ini Cina, baru Melayu dan keturunan India. Dan, golongan atas ya di Cina juga. Jadilah mall-mall itu dipenuhi dengan para cewek2 dan cowok2 gaul muda-tua Cina. Melayu? India? Ada sih, tapi gak banyak. Adn sering gayanya tuh...gimana ya? Gak ok banget! Kayak kampungan gitu deh...kurang ‘dignity’ dan ‘pride’. Tapi yang lucu kayak gini. Di Medan, kota yang didominasi Cina, orang Cina bekerja domainly as Toke’. Alias para pemilik toko yang walau keliatan miskin sebenernya tajir. Dan pengisi lowongan ‘kelas bawah’ seperti tukang taksi, penjaga toko, dsb, adalah Melayu. Rumah2 besar adalah milik para Cina ini, atau pejabat yang kayaknya minta ampun. Tapi di Penang beda. Orang Cina tetep aja bekerja di sektor2 biasa, bahkan supir taksi atau penjaga toko sekalipun. Mereka kebanyakan tinggal di apartemen seperti yang gua tinggalin pas di sana bersama2 dengan orang Melayu dan orang India. Harga rumah memang mahal di sana, jadi kalau dilihat, kemakmuran di sana tuh..’rata’. dan yang lebih luar biasa lagi, sistem pendidikannya mengharuskan siswa di sana belajar mulai bahasa Melayu, Inggris, Mandarin (atau apa gitu...yang beda dialeknya!), dan Tamil. Jadi mereka punya kewajiban untuk berkomunikasi secara bercampur, gak boleh satu bahasa diunggulkan sangat tinggi di satu pihak. Yang lucu pas ngedengerin mereka ngomong bahasa Inggris...gw susah banget ngertinya. Gua alhamdulillah bisa ngerti denger dialog film asal Amerika atau Inggris (bukan Irlandia, ya!) tanpa teks. Tapi denger mereka ngomong Inggris dengan logat Melayu, Mandarin, atau Tamil...it’s so...confusing! apalagi Inggris mereka jadi rada ngaco...maksudnya, tata bahasanya campur aduk banget. Gua gak bisa denger pas beberapa perawat ngomong, “ barusan yu tok tu mi?” “ yes, i tok tu yu” dan gua bengong. Untung adek gua, yang secara struktur emang lebih jago (pas di Medan, gua lulus intermediet, pas ngambil advance 1, gua masuk IC dan pindah, sementara adek gua udah nerusin sampe advence 2), ngerti dan ngejelasin ke gua. ada juga pemilik kamar apartemen yang kita nginep di dalemnya cerita pas nganter kita ke airport. Dia cerita begini untuk menjelaskan lalu lintas di Penang, “ Enaklah...traffic di Penang...tinggal pusing, tak usah payah2 jalan jauhlah” (lalu lintas di Penang enak, tinggal berputar, gak perlu jalan jauh) Wow! Kebetulan ketemu sama dua turis suami istri yang lagi di Komtar Tower lantai 60. ortu ngedenger mereka ngobrol pake logat Inggris, dan ngajak ngobrol. Dan gua bersyukur karena ngerti...gua kira udah jadi bego karen dah lama gak praktek. Dan ketika ngejawab mereka, atau ngebantu ortu (maklum, kan mereka lebih lama lagi gak praktek), these wo strangers, ngerti yang gua omongin dan menanggapi. Senengnya...dan kayaknya kagum sama logat gua gitu deh! Hehehe...senengnya...
Nah, balik ke Indonesia, gua shock lagi dengan realitas yang ada. Di kereta dari Jakarta-Bandung, seperti biasa, selain para kaya yang biasa bolak-balik Jkt-Bdg, yang ngisi kereta adalah lagi-lagi etnis Cina. Dan gua langsung nelangsa pas menyadari, kalau mereka2 yang jadi calo tiket, yang ngebawain bantal, makanan, nyewain majalah...adalah etnis kita...Melayu...dan ketika sampai di Bandung, Melayu ini lagi yang jadi kuli barang atau tukang taksi yang suka rada’ maksa...sedihnya...kata ayah, ini karena masyarakat kita terlalu banyak, sementara lowongan dikit, jadilah pekerjaan yang sebetulnya ‘gak perlu’ diada-adain...tapi gimana lagi...butuh perubahan dan pemimpin yang berkomitmen menurut gua. dan inget! Bukan hanya mentingin kebutuhan ‘kelompok’nya tapi masyarakat umum yang lebih jamak dan beragam, karena perubahan memerlukan semua aspek...semoga saja...
CATATAN: penang itu dibaca = pineng

Waktu dan Misterinya...

Waktu adalah sebuah tema yang penuh misteri...dalam buku Thomas Harris, Hannibal, Dr. Lecter memiliki satu permasalahan yang tidak terpecahkan dalam dirinya, dan itu adalah keinginannya untuk mendapatkan sebuah pengetahuan untuk dapat memutar kembali waktu dan menemukan adiknya, Mischa, yang mati karena kanibalisme sekelompok Nazi, hidup kembali di hadapannya. Pada akhirnya, walaupun dengan ending yang aneh, akhirnya Dr. Lecter mengisi kekosongan itu dengan sosok Starling. Starling, wanita pendekar FBI itu pun akhirnya –dengan anehnya- memilih untuk meneruskan hidupnya bersama Dr. Lecter, dan meninggalkan masa lalu penuh ketakutannya akiba kematian ayahnya bertahun-tahun lalu. Alan Lightman menggambarkan pikiran-pikiran Einsten dalam bukunya yang indah, Mimpi-Mimpi Einstein. Tentang bagaimana dunia kalau ia terdiri dari kehidupan di mana tidak ada keberakhiran waktu, sehingga manusia pun terbagi menjadi ke dua kubu, mereka yang memilih untuk menikmati dengan sebanyak mungkin waktu yang ada, atau kubu satunya, yang memilih untuk mengisi waktu sebaik-baiknya dengan bekerja dan belajar, meraih gelar sebanyak-banyaknya. Karena mereka memiliki waktu selamanya untuk melakukannya. Pun dengan kegetiran dari kekekalan itu...
Waktu juga yang terus berjalan mengajak kita meninggalkan banyak tempat dan waktu yang paling kita senangi dalam kehidupan. Entah itu ketika tengah berada di tengah keluarga, mengobrol atau bercanda dengan sahabat-sahabat kita, meluangkan waktu sejenak untuk memikirkan sebuah cita-cita yang tengah kita rintis, atau bahkan sekedar mengisi waktu dengan membaca komik, meminum segelas minuman hangat favorit, dengan semangkuk mi rebus hangat yang siap disantap. Dan kenikmatan masa-masa itu terletak di masa depan, ketika kita membuka kembali lembaran ingatan, mengenangnya, dan merasakan kebahagiaan yang pernah kita rasakan ketika berada di posisi ‘itu’. Ada kehangatan yang mengalir deras ketika merasakan momen itu. Seandainya ada satu alat yang akhirnya bisa mampu manusia temukan, yang mampu merekam kenangan indah yang pernah kita miliki...alangkah menyenangkannya... dan semuanya akan tetap indah, selama kita tidak terbuai selamanya di dalamnya...
Kenangan pahit pun berdekatan artinya. Saya masih bisa merasakan pedihnya ketika satu kali memutuskan untuk beranjak pergi dari seseorang yang saya sayangi sebanyak ia menyayangi saya juga. Saya masih ingat pedihnya ketika seorang sahabat saya memutuskan pergi dari sekolah saya di SMU karena penyakitnya. Kesakitan yang lebih dalam lagi menusuk saya ketika sadar bahwa saya telah menyakiti perasaan ibu saya. Semuanya sanggup membuat saya menangis, lalu tersenyum lagi karena segala sesuatunya telah menjadi lebih baik ketika sidikit demi sedikit diatasi. Dan tentu saja, sanggup merasakan emosinya... dalam buku Selasa Bersama Morrie, profesor tua itu mengatakan di akhir – akhir masa kehidupannya, bahwa kita menjadi manusia ketika sanggup merasakan baik rasa senang maupun kepedihan. Saya pernah berusaha lari dari sebuah sakit hati dan ‘menipu’ perasaan dengan terus meyakinkan diri saya kalau saya ‘tidak apa-apa’. Tapi semakin hari saya malah merasa ada sesuatu yang salah, lalu akhirnya...saya menangis...dan perasaan yang menjanggal itu lepas...saya tentu saja merasa sedih, tapi ada sisi lain diri saya merasa lega, dan memilih sebuah langkah yang jauh lebih baik.
Dan waktu membuat kita belajar, membangunkan diri dari kepura-puraan akan kenyataan, dan membuat kita menjadi seseorang yang lebih baik, ataupun sebaliknya. Naik dan turun...terus menerus...dan misterinya tidak pernah benar-benar selesai...

Saturday, January 01, 2005

maaf dah lama...

assalamualaikum wr.wb
hehehe...udah lama gak diisi euy, alasan klasik, banyak laporan, tapi gua emang lagi jarang nge-net. but, in this beginning of year, akan, insya Allah berusaha memenuhi kuota tulisan di blog agar lebih aktif deh...it's been a great year with a lot of expectation ahead. may Allah always blesses...
wasalam