Tuesday, February 01, 2005

Mengisi Titik Cinta di Ujung Waktu (Cerpen)

Mengisi Titik Cinta di Ujung Waktu
Kalaulah cinta boleh disemai sebelum pernikahan tiba, maka ia akan menjadi nilai pernikahan yang menjadi titik awal penguat perjalanan selanjutnya. Seperti manakala Rasulullah iba akan cinta seorang pemuda yang ikut perang melawannya karena mengejar cinta seorang wanita, dan ketika matinya tiba karena tebasan di leher, wanita yang dikejarnya pun menangis dan meninggal dalam satu – dua hembusan nafas. Selama kecintaan itu tidak diwujudkan dalam bingkai nafsu, tak apakah?
Waktu berdetak kencang, dan hembusannya menerpa menghabiskan jatah waktu yang semua manusia miliki. Tidak pilih kasih, juga kepada kedua manusia ini. Ketika waktu berlalu, kejengahan yang ada di antaranya tidak juga kian tersambung...bagaimanakah? Nabila telah mencintai lelaki ini 6 tahun lamanya. Tak usah heran, karena kebingungan itu juga selalu muncul dalam dirinya...apa yang membuat sosok ini begitu istimewa dan enggan beranjak pergi? Padahal mereka cuma berjumpa paling sering sekali dalam satu bulan, apa karena keterikatan hati itu telah ditakdirkan? Dan nampaknya talinya enggan untuk putus. Bahkan ketika banyak hati yang telah mencoba meminta tangannya.
Nabila baru saja menyelesaikan gelar sarjananya di teknik kimia ITB. Dengan IPK yang lumayan bagus, 3.2. Empat tahun yang dilaluinya juga diisi dengan hari – hari perjuangan di kampus, mulai kegiatan di kabinet, jurusan, juga di Masjid Salman. Sehingga lamaran yang mengalir bukan hanya tiba di akhir masa perkuliahannya, bahkan ketika dia berada di pertengahan tingkat dua, mereka - mereka yang melihat ‘kecermelangannya’ mulai datang, tapi harus pergi lagi. Bukan karena apa-apa. Dia telah berusaha, melihat semua yang pernah meminangnya itu dengan pandangan yang objektif, bahkan ketika konsentrasinya penuh dan tidak membandingkannya dengan seorang lelaki yang selama ini masih bercokol di hatinya. Tidak ada yang kurang dengan Arya, termasuk kalangan aktivis yang taat beribadah, pintar di kuliah, sejurusan pula, tapi istikharahnya tidak meneguhkan hatinya untuk memilih jawaban ‘ya’. Maka istikharahnya adalah untuk menjawab tidak, dan semoga ini sesuai dengan ketetapanNya. Begitu juga ketika teman lamanya dari SMP yang rupanya telah menjelma dari seorang anak ingusan yang dulu sering bertengkar dengannya menjadi seorang enterpreneur di usia muda, plus dengan transformasi keimanan yang kelihatannya cukup menjanjikan, Nabila belum juga bisa berkata ‘ya’.
Murobbinya sudah berkali – kali bertanya, apa lagi yang ia tunggu. Toh mereka yang berusaha meraihnya bukanlah sembarang orang, dan juga usianya sudah cukup untuk menikah. Tapi ada satu lingkaran di hatinya yang menolak, karena dia seolah menunggu kedatangan orang yang tepat...dan entah kenapa masih juga berputar di orang yang sama. Yang bahkan tidak pernah menjanjikan suatu permintaan itu. Menikah. Dan nama lelaki penimbul ketidakbersudahan penantiannya ini adalah Husain. Seseorang yang baru saja menyelesaikan status sarjananya di Hukum Internasional UNPAD dan sedang akan mengambil program masternya juga. Seorang sahabat yang telah dikenalnya sejak 7 tahun yang lalu. Ya, ketika rok abu-abu pertama kali dikenakan, dan ketika jilbab yang biasa dipasang sekenanya, kadang diikat ke belakang, mulai dipanjangkan, menutupi kehormatan dengan lebih anggun. Dan persahabatanlah yang mereka selalu pilih, bahkan ketika tirai hati itu terbuka, bahwa mereka berperasaan sama, semuanya itu tidak menimbulkan keinginan seperti layaknya hubungan cinta ala SMU, memproklamirkan lalu mulai ‘jalan’ berdua. Berpacaran. Tidak, karena mereka sama-sama tahu, apa yang mereka rasakan akan seketika rusak begitu nafsu masuk ke hubungan mereka. Jadilah proses menyakitkan itu dimulai, tetap bersahabat dengan menekan perasaan suka. Untunglah kuliah memisahkan mereka cukup jauh.
Tapi apalah artinya fisik, tempat, dan waktu yang berjarak manakala hati menjadi penghubungnya? Mereka tidak pernah bicara banyak tentang cinta, tapi lebih banyak berdiskusi, tentang bagaimana seharusnya dunia dan kehidupan dihadapi. Bagaimana mencoba merasakan setiap serat keimanan berdetak di pembuluh darah? Atau saling berkonsultasi dalam dinamika keseharian yang tidak ada habisnya. Masalah, kegembiraan, kecewaan, yang dialami di kegiatan kuliah ataupun dakwah. Bahkan aliran lamaran yang Nabila alami. Dan sahabatnya itu hampir selalu punya jawaban yang tepat atas pertanyaannya. Tapi dia tidak berani mempertanyakan yang satu ini.
Menyatakan lamaran bukanlah barang haram yang tidak boleh dilakukan oleh seorang muslimah. Bahkan banyak hadis yang sudah memperkuat keyakinannya itu. Tapi bagaimana seharusnya ia melakukannya? Melalui orangtuanyakah? Murobbinya? Atau dia mempertanyakannya dulu kepada Husain? Entahlah, semuanya sama-sama tidak sanggup ia lakukan...dan semuanya lebih karena rasa malu yang bersangatan. Atau dia menunggu saja? Husain tidak pernah bercerita tentang siapapun yang memiliki kesan disukainya dalam empat tahun ini. Tapi kalau menunggu adalah tindakan terbaik, sampai kapan? Kalau gayung itu bersambut, kalau tidak? Padahal kerinduan untuk menggenapkan agama itu sudah mendesak di kalbunya. Bukan sekedar memenuhi fitrahnya sebagai wanita untuk menjadi seorang istri. Tapi memenuhi kebutuhan dasar manusia, takdirnya ketika dilahirkan di dunia, menemukan pasangan jiwanya...Dan sebulan sudah berlalu semenjak masa ketika ia diwisuda, dan sms yang ia peroleh dari Husain tidak lebih dari ucapan selamat. Haruskah ia beranjak pergi saja? Sebuah prosedur program master ke Jerman memang sedang ia ikuti, dan tampaknya akan beroleh hasil yang cukup positif. Haruskah ia mencoba lebih fokus dalam karir pendidikannya dan melupakan sejenak masalah pernikahan ini? Toh, umur 22 masih ia jalani...

Sementara itu, di Jatinangor...
Husain sedang dalam kegelisahan yang memuncak. Sms terakhir dari Bila, panggilannya sejak SMU untuk Nabila, menyatakan niat Bila untuk pergi jauh ke Jerman melanjutkan sekolahnya. Dia tahu inilah yang akan ia hadapi. Sejak dari dulu dia sadar bahwa perempuan yang satu ini bukan perempuan sembarangan, cita-citanya besar, dan keinginannya untuk melihat dunia terbentang luas. Dan ketika kesempatan ini terbuka di depan matanya, Husain yakin, Bila akan meraihnya. Tapi Husain telah mengenalnya tujuh tahun lamanya, dan menyadari bahwa dibalik cita-cita yang satu itu, Bila selama ini juga memiliki keinginan besar mewujudkan sebuah cita-cita ruhaninya. Menikah. Husain beberapa kali cukup kelabakan, ketika beberapa lamaran sampai kepada Nabila berkali-kali. Sebegitu populernyakah ia di sana? Tapi ketakutannya bahwa Bila akan menikahi salah seorang pelamarnya tidak terjawab. Dari semua cerita yang Bila tuturkan padanya, selalu terungkap bahwa belum ada satupun dari mereka yang benar-benar membuatnya yakin dalam menyatakan ‘ya’. Seolah menunggu seseorang. Bukan sekali dua kali Husain bertanya pada dirinya sendiri, diakah yang tengah Nabila tunggu? Mungkinkah perasaan yang bersemai bertahun-tahun lalu sekaranglah waktu yang tepat untuk dibingkai dalam keindahan pernikahan? Atau semuanya tidak lebih dari harapan hatinya belaka? Bahwa dia ingin Nabila juga mengharapkannya? Tak lebih dari ‘gede rasa’ yang muncul di dalam hatinya? Bukankah Nabila memang selalu bercita-cita untuk meneruskan sekolahnya? Mungkin dia akan menikah dengan mahasiswa Indonesia yang ditemuinya di sana? Atau bahkan lelaki muslim dari negara asing, entah dari mana asalnya?
Husain berkali-kali sudah memikirkan kemungkinan menikahinya. Bahkan ketika di SMU dulu. Dia tidak bisa meneruskan hubungan mereka karena takut nafsulah yang menjadi pengikatnya, tetapi tidak bisa melepasnya begitu saja karena yakin bahwa perasaan ini bukan sekedar suka. Iya, dia mencintai gadis ini. Tapi apalah yang ia miliki ketika SMU? Karena itu dia berkonsentrasi untuk menyelesaikan sekolahnya dulu, fokus di jalur itu. Sambil mulai menabung dari mengajar privat yang keuntungannya belum terlalu banyak. Tapi sanggupkah ia bila mengajaknya menikah sekarang? Husain memang baru akan lulus dan diwisuda beberapa minggu lagi, tapi sembari meneruskan program masternya, dia juga sudah memiliki beberapa tawaran kerja. Tapi rumah, sumber keuangan yang tetap, bukanlah sesuatu yang ia miliki. Belum lagi kalau Bila memang akan pergi, Husain tahu, bahkan dirinya tak kan sanggup menahannya...

Dua bulan berikutnya...
Sebuah nomor telpon muncul di layar hp Husain. Nomor rumah Nabila di Jakarta. Ia memang sudah pulang untuk mengurus program masternya. Husain sedang mengantri menunggu panggilan wawancara di perusahaan yang namanya sudah direkomendasikan sebelumnya.
“ Halo. Assalamualaikum...Sein?”
“ Waalaikumsalam. Ada apa, Bil?”
“ Ayo...coba tebak...ada apa...berita gembira nih!” ah...Husain sadar, yakin bahwa proposal beasiswa program master Bila lolos. Tapi...tunggu dulu, bagaimana kalau bukan tentang hal itu...tapi...
“ Ka-kamu...menerima...lamaran seseorang?” tanyanya penuh kecemasan dan sekaligus harapan.
“ Hah? Kok menerima sih? Bukan...lamaranku diterima Sein! Subhanallah...aku...” ja-jadi dia melamar laki-laki lain, dan lelaki itu menerimanya? Na..Nabila...Tapi sebelum pikiran kacau itu merasuk lebih jauh di dalam pikirannya, Nabila melanjutkan percakapannya, “ akan berangkat ke Jerman insya Allah 3 minggu lagi, Sein! Aku diterima! “
Kelegaan tiba-tiba mengalir ke dalam dirinya, seolah-olah baru pertama kali ia merasakan bahwa darah benar-benar berdenyut hangat. Tapi kegelisahan yang baru muncul.
“ Eng...kalau begitu, kamu akan pergi dari Indonesia tiga minggu lagi?” keheningan tiba-tiba mendominasi percakapan mereka, entah apakah itu perasaannya saja, tapi Nabila berhenti beberapa saat sebelum menjawabnya. Didengarnya sebuah helaan nafas, tanda yang ia kenal sebagai suatu kegelisahan pada Nabila, baru ia mulai menjawab. Dan sebuah kata, “ Ya” mematahkan hati Husain dalam satu hentakan.
“ Wah, Alhamdulillah, kalau begitu, selamat ya. Jangan lupa ngasih kabar, aku mau ikut mengantarmu nanti...” tapi nada bicaranya sudah sebegitu lemasnya. Salam kembali saling diucapkan, Nabila tak lupa mengucapkan selamat berjuang dalam wawancara Husain nanti, karena tadi pagi ia sempat meng-sms meminta Bila ikut mendoakan keberhasilannya. Lalu telpon ditutup. Dan kedua hati itu bertanya dalam keheningannya masing-masing. Mungkin ini yang terbaik...

Satu Minggu sesudahnya
Apabila ia mengikuti program kuliahnya ini, ia akan berpisah dengan Indonesia mungkin sampai dua tahun. Apakah kemungkinan itu benar-benar tertutup? Husain mungkin nanti sudah menikah dengan orang lain, atau dia yang dilamar orang lain disana. Lihat saja, tidak ada satu kalimatpun tentang pernikahan ia utarakan. Dan kemungkinan menolak pasti akan semakin tipis, karena usia akan semakin berkurang, padahal sebisa mungkin ia ingin memenuhi nikah ini seperti pada usia ibunya dahulu, 23...entahlah...pikir Nabila...terserah Allah akan membawaku kemana kelak...sekarang sekolahku harus menjadi fokus utama. Tapi layakkah sebuah cinta dikorbankan?
Sementara itu Husain juga terus berpikir. Apakah ia pantas menjadi pengecut yang menyerah begitu saja? Padahal sudah beberapa orang yang telah dengan berani mengajukan proposal pernikahan itu pada Nabila, tapi seorang Husain, yang ia yakini memiliki ketulusan cinta kepada Nabila, tidak sanggup bahkan hanya untuk mengutarakannya. Tapi kalau aku sampai menyatakan ini, pikirnya, bukankah hanya akan mengganggu rencana hidupnya yang sudah direncanakan sedemikian rupa?

Seminggu kemudian
Sebuah surat undangan sampai di rumah Husain. Undangan pernikahan sahabatnya di bangku kuliah. Dan pasangannya...seorang akhwat kampus lain jurusan yang memang temannya itu dulu sering ceritakan. Dia juga ingat bahwa mereka berdua hanya kontak melalui pesan singkat antar handphone. Itu pun isinya lebih berkaitan dengan organisasi dimana keduanya terlibat. Tapi ia ingat percakapannya waktu itu.
Aku rasa...aku mencintainya. Kau tahu, Sein? Cinta sebelum menikah memang tidak mutlak, tapi karena aku sudah mampu merasakannya, tidak ada hal lain, dia gadis yang baik, aku akan segera memintanya menikahiku! Doakan aku Sein!
Bahkan dia bisa seberani itu! Husein tertegun, teringat email kemarin dari Nabila yang menceritakan rencana lengkap keberangkatannya. Jam dan sebagainya. Keputusan harus segera dibuat!

Hari keberangkatan Nabila
Nabila gelisah. Husein belum juga tiba padahal dia berjanji akan ikut mengantarnya. Orangtua dan beberapa sahabatnya sudah sedari tadi ia pamiti, tapi sahabatnya ini belum muncul juga. Akh...apakah kami memang harus berpisah begitu saja? Pikirnya. Sampai tiba-tiba pelupuk matanya menangkap sosok seseorang yang sudah tujuh tahun dikenalnya itu, turun dari sebuah taksi. Husein menangkap sosok itu balik...
“ Assalamualaikum! Bila!” Husein sangat lega karena bila masih ada di sana. Dan tidak ada yang bisa menahan senyum Nabila dari merekah lebih lebar.
“ Waalaikum salam. Ya ampun, Sein...aku sudah hampir masuk ruang tunggu loh...”
“ Ma-maaf” ujarnya sambil berusaha menahan mukanya yang kelihatan agak pucat, “ a-aku harus bicara de-dengan...Ayahmu...” semua orang mendadak keheranan. Kedua orangtua Nabila saling melihat, lalu bertanya dengan serius kepada Husein. Mereka memang sudah pernah bertemu sebelumnya.
“ Ada apa, Sein?” ayah Nabila bertanya, pria ini, yang sudah kepala 50 tapi terlihat 10 tahun lebih muda dan sebaliknya memiliki kebijaksanaan yang seolah-olah berlebih 10 tahun dari usia sebenarnya.
Husein memandang sejenak ke arah Nabila, dan wajah Nabila yang kebingungan masih terpampang. Lalu meluncurlah kalimat itu.
“ Maaf, Pak. Tapi saya...mencintai Nabila. Dan satu-satu keinginan saya untuk memuliakan perasaan ini adalah, dengan meminta Nabila untuk menikah dengan saya...”
Pernahkah kita merasakan sekali dalam kehidupan kita, sebuah keheningan momumental yang membahagiakan? Waktu memang tidak pernah berhenti, tapi pada saat itu, waktu memang seolah-olah berhenti...
Ayah Nabila tersenyum, lalu berkata.
“ Coba kamu katakan saja langsung kepada orangnya...”
Dan itulah momennya, dengan segenap keberanian itu Husein mengungkapkan perasaannya. Sebuah cinta yang tertidur selama tujuh tahun lamanya, dan baru sekarang mampu ia ungkapkan...
Bismillah...aku mencintaimu Nabila. Maukah kau menikah denganku?
***

Langit Jerman tidaklah berbeda dengan langit Indonesia. Mengandung keindahan dan magis keajaiban penciptaan Allah yang sama. Tapi apakah cinta mampu membuatnya berubah? Bahkan membuat sebuah rasa syukur akan limpahan kehidupan menjadi berlipat ganda? Nabila tersenyum sendiri menyaksikan senja itu, ketika pesawat akan mendarat, dan mulai dari titik itu perjuangan barunya sebagai seorang mahasiswa akan dimulai lagi. Tapi ada status baru yang tak kalah sabar ingin ia jalani, insya Allah enam bulan dari sekarang ketika liburan musim dingin tiba...menjadi istri seorang Husain Abdillah...(ulfah)

No comments: